Iklan Dua

FKKBJ-KT Gelar Malam 1 Suro Usung Tema Guyub Rukun

$rows[judul] Keterangan Gambar : Forum Kerukunan Keluarga Besar Jawa - Kutai Timur (FKKBJ-KT) gelar peringatan malam puncak 1 suro


Penulis, Daya Bhara Aji,S.Sos

Makineksiscom, Kutai Timur

Malam Satu Suro dianggap sama dengan malam 1 Muharram atau malam tahun baru Islam. Namun sebenarnya ada perbedaan dalam penanggalan Jawa dan Hijriah.


Lalu apa itu malam satu suro dan bagaimana sejarah asal usulnya? Simak berikut rangkumannya dari Kanal Youtube resmi Ponpes Al-Bahjah Cirebon Al-Bahjah TV, laman Rumaysho, dan literatur lainnya.

Keterangan foto : Ketua FKKBJ-KT Marno pimpin yel-yek slogan "guyub rukun"

Pengertian Malam Satu Suro

Tanggal satu suro merupakan tanggal awal tahun baru Jawa, sementara satu Muharram merupakan tanggal awal tahun baru Islam. Dalam laman Kemenag, disebut tanggal satu suro kerap dianggap bertepatan dengan tanggal satu Muharram.

Malam satu suro merupakan malam tahun baru dalam Kalender Jawa. Menurut Kalender Jawa Indonesia 2024, tanggal 1 Suro jatuh pada hari Senin Legi, 8 Juli 2024. Ini berarti malam 1 Suro terjadi pada Minggu, 7 Juli 2024 setelah matahari terbenam.

Namun sebetulnya, menurut kalender Hijriah Indonesia 2024 susunan Kementerian Agama (Kemenag) RI, 1 Muharram jatuh pada 7 Juli 2024. Oleh karena itu, malam 1 Muharram 1446 H jatuh pada tanggal 6 Juli 2024. Sehingga, tanggal malam satu suro berbeda dengan malam tanggal satu Muharram.


Keterangan foto : Tampak Ketua FKKBJ-KT, Marno berikan sambutan

Dalam perayaannya, Tradisi Suro lekat dengan tradisi turun-temurun masyarakat suku Jawa yang masih berpegang pada tradisi para leluhur. Bulan Suro dianggap oleh masyarakat suku Jawa sebagai bulan sakral. Mereka menghindari hal-hal besar yang menyangkut kehidupan mereka dalam bulan tersebut.

Di Jawa Barat, bulan Muharram ini juga dulu disebut bulan Kapit atau Apit karena terjepit di antara Lebaran Syawal dan Lebaran Haji. Sama dengan masyarakat suku Jawa (Timur, Tengah, dan sekitarnya), sempat muncul anggapan bahwa bulan ini adalah bulan yang tidak membawa keberuntungan.

Sejarah dan Asal Usul Malam Satu Suro


Keterangan foto : Peringatan malam 1 Suro bersama FKKBJ-KT dirangkai tausiah agama

Malam Satu Suro mulanya berasal dari perkenalan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Awak media Makineksis  merangkum, ada tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa pada masa itu.

Sementara menurut catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram dan menetapkan 1 Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.


Keterangan foto : Tampak Ketua FKKBJ-KT, Marno simbolis berikan seserahan nasi tumpeng 

Pada saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah. Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Hal tersebut bermaksud bahwa Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya. Selain untuk menggempur Belanda di Batavia, hal itu juga bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa. Maka dari itu, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.

Penyatuan kalender tersebut pun dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah.


Keterangan foto : Ketua FKKBJ-KT, Marno berikan tumpeng kepada tokoh agama 

Sementara itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Untuk itu, pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Dengan demikian, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga turut dikeramatkan. Bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.

Tradisi Malam Satu Suro tentunya tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan yang beredar di masyarakat. Namun, mitos dan kepercayaan yang muncul di masyarakat pun berbeda beda di setiap daerah.

Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, dijelaskan dalam artikel publikasi Tradisi Suroan dan Pengaruhnya Terhadap Keberagamaan Masyarakat Dusun Bantan, Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan karya Rahmawati dkk yang terbit dalam Jurnal Pendidikan, Ilmu Sosial, dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2 No 2 2022, kata "Suro" berasal dari kata "Asyura", yang artinya hari ke-10 Muharram.

Kata asyura dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi "Suro" yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa. Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata "Suro" memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat.

Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Muharram termasuk bulan haram bersama Dzulkaidah, Dzulhijjah, dan Rajab. Ulama Al-Qodhi Abu'la mengatakan bulan ini disebut haram karena dua alasan utama. Pertama, pada bulan-bulan tersebut, pembunuhan dilarang keras, bahkan masyarakat jahiliah pun mematuhinya

Untuk itu dalam rangka memasuki malam 1 suro, Forum Kerukunan Keluarga  Jawa Kabupaten Kutai Timur (FKKBJ-KT) yang dikomandoi langsung oleh ketuanya Sumarno turut memperingatinya dan menjadi tradisi rutin digelar.

Sumarno mengatakan tujuan FKKBJ-KT mengadakan malam 1 suro bertujuan sebagai malam renungan, silaturahmi juga menjaga kerukunan, keamanan, kamtibmas

"Perlu dipahami terbentuknya FKKBJ-KT  sebagai asosiasi naungan warga Jawa, Madura di tanah perantauan Kutim. Akan tetapi ada juga warga diluar Jawa yang kami beri gelar warga kehormatan " terang Marno (sapaan - singkatnya).

Marno mengungkapkan untuk di Kabupaten Kutim sendiri FKKBJ-KT  tersebar di 18 kecamatan dan telah memiliki Pengurus Anak Cabang (PAC).

Apakah di malam 1 suro turut mendapatkan suport dari pemerintah daerah selama pelaksanaannya? "Kami berkomitmen secara konsisten tidak mau meminta - minta kepada pemerintah, acara ini murni swadaya anggota baik dari kesiapan segala sesuatunya," terang orang nomor satu-nya di kepengurusan FKKBJ-KT

Dirinya menginginkan paguyuban FKKBJ-KT  tidak diplesetkan sebagai sarana atau kepentingan lainnya. "Adapun program giatnya setiap memasuki hari Jumat ada agenda berbagi dan menyantuni anak - anak yatim piatu," tutup Marno.(aji/rin)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)