Oleh : Daya Bhara Aji., S.Sos
Keterangan foto : DPRD Kidang berbagi pengalaman cerita sejarah Kemerdekaan di tanah kelahirannya Desa Tepian Langsat dari cerita ayahndanya Almarhum H Sahrum disaat warga Tepian Langsat melawan Eks tentara penjajah Jepang
Amerika Serikat menjatuhkan
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Setelah tentara penjajah
Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu, pasca negeri matahari terbit (Nagasaki)
Hiroshima dihujani bom atom
Maka tentara Dai Nippon “Jepang”
yang menduduki ibu pertiwi tanah air Indonesia berangsur mengakui kekalahannya atas kependudukannya di Indonesia.
Keterangan foto : tampak awak media diajak bernostalgia sejarah di Desa Tepian Langsat melalui berbagai rute petlintasam hingga menyapa masyarakat sekitar
Untuk itu, memaknai HUT
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) Ke – 78 Tahun, anggota Komisi C DPRD Kutai
Timur Masdari Kidang, SE kelahiran Desa Tepian Langsat Kecamatan Bengalon
Kabupaten Kutai Timur (Kutim) berbagi kisah pengalaman rekam jejak sejarah pendudukan
tentara Jepang dan Belanda di tanah kelahirannya dari kisah kedua orang tuanya
yang kini telah wafat.
Dari penuturan yang
diceritakan ayahnda Kidang, almarhum H Sahrum pria berdarah campuran Bugis –
Bone, bersama istri tercinta Almarhumah Muhayan dirinya menetap dan berkeluarga
sejak tahun 1913 di Desa Tepian Langsat.
Disaat tersiar kabar baik
melalui pemberitaan tempoe doloe melalui radio diketahui negara sekutu
membobardir negara Sakura Jepang dengan bom atom, yang ledakannya sangat dahsyat,
memporakporandakan negeri Jepang hingga menyebabkan banyak nyawa melayang.
Berdampak pada pendudukan tentara
jepang, sehingga mendesak tentara penjajah itu mengakui kekalahannya termasuk kepada para pahlawan revolusi
Kemerdekaan 1945 di Jakarta jaman itu.
Keterangan foto : Media mengunjungi situs sejarah mesjid tertua Desa Tepian Langsat Bengalon yang ada sejak tahun 1913
Tepatnya bom atom Hiroshima
dijatuhkan dari atas pesawat tentara sekutu Amerika Serikat jenis Bomber masing-masing
pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945.
Goncangnya kondisi yang dihadapi
tentara Jepang di tanah air Indonesia atas negaranya yang telah luluh lantah
diledakan sekutu tersebut, berdasarkan cerita yang dibagikan Kidang melalui
pengalaman orang tuanya saat itu banyak Eks tentara Jepang melarikan diri ke
hutan dan salah satunya terdampar di Desa Tepian Langsat.
“Desa Tepian Langsat
terbentuk di tahun 1913 kala itu,” Kidang mengisahkan
Saat eks tentara Jepang
berada di Desa Tepian Langsat para tentara berpilaku arogan dan kejam tidak ada
nilai perikemanusiaannya. “Tak sedikit orang kampung kami saat itu dibantai,
bahkan juga melakukan aksi kejahatan seksual seperti pemerkosaan terhadap gadis
pribumi setempat,” ucap politisi Partai Berkarya Beringin Karya yang dijaman perjuangan sempat
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)
Ia melanjutkan Kisahnya.
“Sampai – sampai kata bapak saya kita berani menghadapi 10 orang Belanda
ketimbang 1 orang Jepang dikarenakan aksi kekejamannya saat itu,” beber Kidang
Selama dalam pelariannya Eks
tentara Jepang tidak segan – segan merampas hasil bumi di Desa Tepian Langsat.
“Adapun rute pelarian Jepang saat itu Bengalon, Sangkulirang, Muara Wahau serta
wilayah sekitarnya,”ungkap Kidang masih pada kisah sang ayah kandungnya.
Semenjak Jepang berada Di
Tepian Langsat situasi mencekam, tegang menyebabkan warga pribumi membuat gua
persembuyian seperti area perkuburan (makam) tampak dari atas dan tidak dibekali
penerangan. “Karena khawatir apabila gua diberi penerangan terdeteksi oleh pesawat sekutu dan lamgsung dibom oleh
sekutu dari pesawat, dikarenakan tentara Sekutu melakukan perburuan terhadap
tentara Jepang di atas langit Kutim yang masih hutan belantara. Sulit
membedakan mana gua Jepang dan gua persembuyian warga setempat,” ulas anggota
legislatif itu lagi.
Media menanyakan kepada
Kidang setelah mendapati perlakuan keji dari Eks tentara Jepang apakah warga
pribumi saat itu melakukan perlawanan? “Dari kisah bapak saya, lama – kelamaan
warga pribumi tidak tinggal diam atas kesewenang – wenangan tentara Jepang dan
sepakat, bersatu melakukan perlawanan dengan membantai balik apabila mendapati
tentara musuh secara bergerilya. Seketika itu juga berlaku hukum rimba tentara
jepang yang berhasil dibunuh oleh pahlawan setempat termasuk ayah saya mayatnya
dibiarkan begitu saja tergeletak atau dibuang di hutan bahkan dihanyutkan pada bantaran aliran
sungai,” jelas Kidang
Kidang mengatakan bahkan
parang (senjata) almarhum ayahnda Kidang saat membantai tentara Jepang masih
disimpan oleh Keluarga besarnya sebagai barang peninggalan sejarah.
Di saat itu pengaruh
kerajaan Mulawarman Tenggarong masih kuat betul menganut aliran kepercayaan
agama Hindu, sementara di jaman – jaman itu almarhum ayah Kidang, H Sahrum ketokohan
dikenal sebagai pemuka agama (cendikiawan) muslim
“Ayah saya jugalah bersama tokoh – tokoh agama tetua
dahulu kala itu menyebarluaskan agama Islam di Desa Tepian Langsat. Peninggalan
situs bangunan sejarah religi di era perjuangan didapati bangunan masjid tua yang memang didirikan oleh bapak
saya,”ucap Kidang
Kidang menambahkan apabila ingin
melihat Masjid tersebut dapat berkunjung ke Desa Tepian Langsat tak jauh
setelah melintasi jembatan gantung.”Bangunan masjid itu yang masih
dipertahankan yakni tiang – tiang didalamnya tidak dipugar, karena saat pengerjaannya
manual “tradisional” hanya menggunakan kapak dan parang. Karena di era itu
belum ada namanya mesin pemotong kayu (senso), sementara beduknya ada yang asli
disana sempat saya rawat (rehab),” tuturnya
Berdirinya masjid tua,
menurut Kidang lagi, sebelum tentara Jepang melarikan diri dari buruan
sekutu di Tepian Langsat.
Sepengetahuan Kidang dari
banyaknya tentara jepang mengungsi dalam pelariannya tidak ada yang selamat
kembali ke Negaranya semua tewas terbunuh dibantai pribumi. “Sampai – sampai
kata bapak saya masih santun dan berperikemanusiaan tentara Belanda daripada
Jepang,” imbuhnya.
Untuk itu memasuki hari
Kemerdekaan yang ke – 78 Tahun, Kidang mengajak segenap masyarakat mengenang
perjuangan para pahlawan seperti yang
telah dikisahkannya, yang mana warga pribumi Desa Tepian Langsat melalui figur
almarhum sang ayah merupakan saksi dan pelaku sejarah dalam melawan tentara
Jepang. “Bagaimana kita mengenang pengorbanan pahlawan kita, salah satunya
bangkitkan semangat nasionalisme serentak kita kibarkan bendera merah putih,”
tutur Kidang.
Kidang menegaskan setidaknya bangunan masjid tua yang terletak di Desa Tepian Langsat dapat masuk dalam situs cagar budaya sejarah melalui Dinas Kebudayaan. "Sehingga anak cucu kita kelak memiliki pengetahuan edukasi sejarah terkait Desa Tepian Langsat," tutupnya.(aji)
Tulis Komentar