Iklan Dua

Kidang Saksi Sejarah Pendudukan Pelarian Tentara Jepang Desa Tepian LangsatDiwarisi Mesjid Tertua Oleh Almarhum Ayahndanya

$rows[judul] Keterangan Gambar : Gambar kiri anggota DPRD Kutim Kidang saat berada di Masjid tua warisan sang almarhum ayah kandung tercintanya, H Sahrum yang mana masjid tersebut berdiri sejak tahun 1913, gambar kanan Kidang sejak awal Bulang Agustus 2023 dalam memaknai HUT Kemerdekaan RI Ke - 78 tahun mengibarkan bendera merah putih di rumah pribadinya di Begalon


Oleh : Daya Bhara Aji., S.Sos


Keterangan foto : DPRD Kidang berbagi pengalaman cerita sejarah Kemerdekaan di tanah kelahirannya Desa Tepian Langsat dari cerita ayahndanya Almarhum H Sahrum disaat warga Tepian Langsat melawan Eks tentara penjajah Jepang

 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

 

Setelah tentara penjajah Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu, pasca negeri matahari terbit (Nagasaki) Hiroshima dihujani bom atom

Maka tentara Dai Nippon “Jepang” yang menduduki ibu pertiwi tanah air Indonesia berangsur mengakui kekalahannya atas kependudukannya di Indonesia.



Keterangan foto : tampak awak media diajak bernostalgia sejarah di Desa Tepian Langsat melalui berbagai rute petlintasam hingga menyapa masyarakat sekitar

 Untuk itu, memaknai HUT Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) Ke – 78 Tahun, anggota Komisi C DPRD Kutai Timur Masdari Kidang, SE kelahiran Desa Tepian Langsat Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur (Kutim) berbagi kisah pengalaman rekam jejak sejarah pendudukan tentara Jepang dan Belanda di tanah kelahirannya dari kisah kedua orang tuanya yang kini telah wafat.

 Dari penuturan yang diceritakan ayahnda Kidang, almarhum H Sahrum pria berdarah campuran Bugis – Bone, bersama istri tercinta Almarhumah Muhayan dirinya menetap dan berkeluarga sejak tahun 1913 di Desa Tepian Langsat.

Disaat tersiar kabar baik melalui pemberitaan tempoe doloe melalui radio diketahui negara sekutu membobardir negara Sakura Jepang dengan bom atom, yang ledakannya sangat dahsyat, memporakporandakan negeri Jepang hingga menyebabkan banyak nyawa melayang.

Berdampak pada pendudukan tentara jepang, sehingga mendesak tentara penjajah itu mengakui kekalahannya  termasuk kepada para pahlawan revolusi Kemerdekaan 1945 di Jakarta jaman itu.


Keterangan foto : Media mengunjungi situs sejarah mesjid tertua Desa Tepian Langsat Bengalon yang ada sejak tahun 1913

 Tepatnya bom atom Hiroshima dijatuhkan dari atas pesawat tentara sekutu Amerika Serikat jenis Bomber masing-masing pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945.

Goncangnya kondisi yang dihadapi tentara Jepang di tanah air Indonesia atas negaranya yang telah luluh lantah diledakan sekutu tersebut, berdasarkan cerita yang dibagikan Kidang melalui pengalaman orang tuanya saat itu banyak Eks tentara Jepang melarikan diri ke hutan dan salah satunya terdampar di Desa Tepian Langsat.

 “Desa Tepian Langsat terbentuk di tahun 1913 kala itu,” Kidang mengisahkan

Saat eks tentara Jepang berada di Desa Tepian Langsat para tentara berpilaku arogan dan kejam tidak ada nilai perikemanusiaannya. “Tak sedikit orang kampung kami saat itu dibantai, bahkan juga melakukan aksi kejahatan seksual seperti pemerkosaan terhadap gadis pribumi setempat,” ucap politisi Partai Berkarya  Beringin Karya yang dijaman perjuangan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)

 Ia melanjutkan Kisahnya. “Sampai – sampai kata bapak saya kita berani menghadapi 10 orang Belanda ketimbang 1 orang Jepang dikarenakan aksi kekejamannya saat itu,” beber Kidang

 Selama dalam pelariannya Eks tentara Jepang tidak segan – segan merampas hasil bumi di Desa Tepian Langsat. “Adapun rute pelarian Jepang saat itu Bengalon, Sangkulirang, Muara Wahau serta wilayah sekitarnya,”ungkap Kidang masih pada kisah sang ayah kandungnya.

 Semenjak Jepang berada Di Tepian Langsat situasi mencekam, tegang menyebabkan warga pribumi membuat gua persembuyian seperti area perkuburan (makam) tampak dari atas dan tidak dibekali penerangan. “Karena khawatir apabila gua diberi penerangan terdeteksi oleh pesawat sekutu dan lamgsung dibom oleh sekutu dari pesawat, dikarenakan tentara Sekutu melakukan perburuan terhadap tentara Jepang di atas langit Kutim yang masih hutan belantara. Sulit membedakan mana gua Jepang dan gua persembuyian warga setempat,” ulas anggota legislatif itu lagi.

 Media menanyakan kepada Kidang setelah mendapati perlakuan keji dari Eks tentara Jepang apakah warga pribumi saat itu melakukan perlawanan? “Dari kisah bapak saya, lama – kelamaan warga pribumi tidak tinggal diam atas kesewenang – wenangan tentara Jepang dan sepakat, bersatu melakukan perlawanan dengan membantai balik apabila mendapati tentara musuh secara bergerilya. Seketika itu juga berlaku hukum rimba tentara jepang yang berhasil dibunuh oleh pahlawan setempat termasuk ayah saya mayatnya dibiarkan begitu saja tergeletak atau dibuang di hutan  bahkan dihanyutkan pada bantaran aliran sungai,” jelas Kidang

Kidang mengatakan bahkan parang (senjata) almarhum ayahnda Kidang saat membantai tentara Jepang masih disimpan oleh Keluarga besarnya sebagai barang peninggalan sejarah.

Di saat itu pengaruh kerajaan Mulawarman Tenggarong masih kuat betul menganut aliran kepercayaan agama Hindu, sementara di jaman – jaman itu almarhum ayah Kidang, H Sahrum ketokohan dikenal sebagai pemuka agama (cendikiawan) muslim

 “Ayah saya  jugalah bersama tokoh – tokoh agama tetua dahulu kala itu menyebarluaskan agama Islam di Desa Tepian Langsat. Peninggalan situs bangunan sejarah religi di era perjuangan didapati bangunan  masjid tua yang memang didirikan oleh bapak saya,”ucap Kidang

 Kidang menambahkan apabila ingin melihat Masjid tersebut dapat berkunjung ke Desa Tepian Langsat tak jauh setelah melintasi jembatan gantung.”Bangunan masjid itu yang masih dipertahankan yakni tiang – tiang didalamnya tidak dipugar, karena saat pengerjaannya manual “tradisional” hanya menggunakan kapak dan parang. Karena di era itu belum ada namanya mesin pemotong kayu (senso), sementara beduknya ada yang asli disana sempat saya rawat (rehab),” tuturnya


 Berdirinya masjid tua, menurut Kidang lagi, sebelum tentara Jepang melarikan diri dari buruan sekutu di Tepian Langsat.

 Sepengetahuan Kidang dari banyaknya tentara jepang mengungsi dalam pelariannya tidak ada yang selamat kembali ke Negaranya semua tewas terbunuh dibantai pribumi. “Sampai – sampai kata bapak saya masih santun dan berperikemanusiaan tentara Belanda daripada Jepang,” imbuhnya.

 Untuk itu memasuki hari Kemerdekaan yang ke – 78 Tahun, Kidang mengajak segenap masyarakat mengenang perjuangan para pahlawan  seperti yang telah dikisahkannya, yang mana warga pribumi Desa Tepian Langsat melalui figur almarhum sang ayah merupakan saksi dan pelaku sejarah dalam melawan tentara Jepang. “Bagaimana kita mengenang pengorbanan pahlawan kita, salah satunya bangkitkan semangat nasionalisme serentak kita kibarkan bendera merah putih,” tutur Kidang.

Kidang menegaskan setidaknya bangunan masjid tua yang terletak di Desa Tepian Langsat dapat masuk dalam situs cagar budaya sejarah melalui Dinas Kebudayaan. "Sehingga anak cucu kita kelak memiliki pengetahuan edukasi sejarah terkait Desa Tepian Langsat," tutupnya.(aji)  

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)